Sejarah Berdirinya Kerajaan Aceh, Raja, Kehidupan, Kejayaan dan Keruntuhan Kerajaan Aceh Lengkap – Kerajaan Aceh atau Kesultanan Aceh Darussalam adalah salah satu kerajaan Islam yang pernah berdiri di provinsi Aceh, Indonesia. Kesultanan Aceh terletak di utara pulau Sumatera dengan ibu kota Bandar Aceh Darussalam dengan sultan pertamanya adalah Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan pada Ahad, 1 Jumadil awal 913 H atau pada tanggal 8 September 1507.
Kerajaan Aceh berdiri dan muncul sebagai kekuatan baru di Selat Malaka, kerajaan ini berdiri pada abad ke-16 setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis. Para pedagang Islam tidak mengakui kekuasaan Portugis di Malaka dan segera memindahkan jalur perniagaan ke bandar-bandar lainnya di seluruh Nusantara. Peran Malaka sebagai pusat perdagangan internasional digantikan oleh Aceh selama beberapa abad. Di Selat Malaka, Kerajaan Aceh bersaing dengan Kerajaan Johor di Semenanjung Malaysia.
Sejarah Berdirinya Kerajaan Aceh
Setelah melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Pidie, Pada tahun 1530, Sultan Ali Mughayat Syah mendirikan Kerajaan Aceh. Pada tahun 1564, Kerajaan Aceh di bawah pimpinan Sultan Alaudin al-Kahar (1537-1568). Sultan Alaudin al-Kahar menyerang kerajaan Johor dan berhasil menangkap Sultan Johor, tapi kerajaan Johor tetap berdiri dan menentang Aceh. Pada masa kerajaan Aceh dipimpin oleh Alaudin Riayat Syah datang pasukan Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman untuk meminta ijin berdagang di Aceh.
Setelah itu, pemerintahan digantikan oleh Sultan Ali Riayat dengan panggilan Sultan Muda, ia berkuasa dari tahun 1604-1607. Pada masa ini, Portugis melakukan penyerangan karena ingin melakukan monopoli perdagangan di Aceh, namun usaha ini tidak berhasil.
Kemudian, Sultan Muda digantikan oleh Sultan Iskandar Muda dari tahun 1607-1636, pada masa pemerintahannya kerajaan Aceh mengalami kejayaan dalam perdagangan. Selain itu, banyak terjadi penaklukan di wilayah yang berdekatan dengan Aceh seperti Deli (1612), Bintan (1614), Kampar, Pariaman, Minangkabau, Perak, Pahang dan Kedah (1615-1619).
Setelah Sultan Iskandar Muda digantikan oleh Sultan Iskandar Thani (Sultan Iskandar Sani) yang memerintah tahun 1637-1642, ia merupakan menantu Iskandar Muda. Pada masa pemerintahannya, kerajaan aceh mengalami kemunduran. Tak seperti mertuanya, ia lebih mementingkan pembangunan dalam negeri daripada ekspansi luar negeri. Pada masa pemerintahannnya yang singkat yaitu sekitar empat tahun, Aceh berada dalam keadaan damai dan sejahtera, hukum syariat Islam ditegakkan, dan hubungan dengan kerajaan-kerajaan bawahan dilakukan tanpa tekanan politik ataupun militer.
Pada masa Iskandar Sani ini, ilmu pengetahuan tentang Islam juga berkembang pesat. Kemajuan ini didukung oleh kehadiran Nuruddin ar-Raniri, seorang pemimpin tarekat dari Gujarat, India. Nuruddin menjalin hubungan yang erat dengan Sultan Iskandar Sani, ia kemudian diangkat menjadi mufti (penasehat) Sultan. Pada masa ini terjadi pertikaian antara golongan bangsawan (Teuku) dengan golongan agama (Teungku).
Setelah Iskandar Sani, yang memerintah Aceh berikutnya adalah empat orang sultanah (sultan perempuan) berturut-turut. Sultanah yang pertama adalah Safiatuddin Tajul Alam (1641- 1675), janda Iskandar Sani. Kemudian Sri Ratu Naqiyatuddin Nurul Alam, Inayat Syah, dan Kamalat Syah. Pada masa Sultanah Kamalat Syah ini turun fatwa dari Mekah yang melarang Aceh dipimpin oleh kaum wanita. Pada 1699 pemerintahan Aceh pun dipegang oleh kaum pria kembali.
Pada tahun 1816, sultan Aceh yang bernama Saiful Alam bertikai dengan Jawharul Alam Aminuddin. Kesempatan tersebut digunakan oleh Gubernur Jenderal asal Inggris, Thomas Stanford Raffles yang ingin menguasai Aceh yang belum pernah ditundukkan oleh Belanda. Saat itu pemerintahan Hindia Belanda yang menguasai Indonesia tengah digantikan oleh pemerintahan Inggris. Pada 22 April 1818, Raffles yang saat itu berkedudukan di Bengkulu, mengadakan perjanjian dagang dengan Aminuddin. Berkat bantuan pasukan Inggris akhirnya Aminuddin menjadi sultan Aceh pada tahun 1816, menggantikan Sultan Saiful Alam.
Pada tahun 1824, pihak Inggris dan Belanda mengadakan perjanjian di London, Inggris. Traktat London ini berisikan bahwa Inggris dan Belanda tak boleh mengadakan praktik kolonialisme di Aceh. Namun, berdasarkan keputusan Traktat Sumatera, pada 1871 Belanda kemudian berhak memperluas wilayah jajahannya ke Aceh.
Dua tahun kemudian, yaitu tahun 1873, Belanda menyerbu Kerajaan Aceh. Alasan Belanda yaitu karena Aceh selalu melindungi para pembajak laut. Sejak saat itu, Aceh terus terlibat peperangan dengan Belanda. Kemudian lahirlah pahlawan-pahlawan dari Aceh, di antaranya seperti Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Panglima Polim.
Perang Aceh baru berhenti pada tahun 1912 setelah Belanda mengetahui taktik perang orang-orang Aceh. Kemudian Kerajaan Aceh yang dikenal sebagai Serambi Mekah, yang telah berdiri selama tiga abad lebih, runtuh. Kemenangan Belanda ini berkat bantuan Dr. Snouck Horgronje, yang sebelumnya menyamar sebagai seorang muslim di Aceh. Pada tahun 1945 Aceh menjadi bagian dari Republik Indonesia.
Raja-Raja Kerajaan Aceh
Berikut nama-nama raja yang pernah memerintah kerajaan aceh diantaranya yaitu:
- Sultan Ali Mughayat (1514-1528 M)
- Sultan Salahuddin (1528-1537 M)
- Sultan Alaudin Riayat Syah al-Kahar (1537-1568 M)
- Sultan Sri Alam (1575-1576 M)
- Sultan Zain al-Abidin (1576-1577 M)
- Sultan Ala’ al-Abidin (1577-1589 M)
- Sultan Buyung (1589-1596 M)
- Sultan Ala’ al-Din Riayat Syah Sayyid al-Mukammil (1596-1604 M)
- Sultan Ali Riayat Syah (1604-1607 M)
- Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam (1607-1636 M)
- Iskandar Thani (1636-1641 M)
- Sri Ratu Safi al-Din Taj al Alam (1641-1675 M)
- Sri Ratu Naqvi al-Din Nur al-Alam (1641-1678 M)
- Sri Ratu Zaqqi al-Din Inayat Syah (1678-1688 M)
- Sri Ratu Kamalat Syah Zinat al-Din (1688-1699 M)
- Sultan Badr al-Alam S Hashim Jamal al-Din (1699-1702 M)
- Sultan Perkasa Alam S L (1702-1703 M)
- Sultan Jamal al-Alam Badr al-Munir (1703-1726 Masehi)
- Sultan Jauhar al-Alam Amin al-Din (1726)
- Sultan Shyam al-Alam (1726-1727 M)
- Sultan Ala’ al-Din Ahmad S (1727-1735 M)
- Sultan Ala’ al-Din Johan Syah (1735-1760 M)
- Sultan Mahmud Syah (1760-1781 M)
- Sultan Badr al-Din (1781-1785 M)
- Sultan Sulaiman Siah (1785-…)
- Alauddin Muhammad Daud Syah
- Sultan Ala’ al-Din Jauhar al-Alam (1795-1815 dan 1818-1824 M)
- Sultan Syarif Saif al-Alam (1815-1818 M)
- Sultan Muhammad Syah (1824-1838 M)
- Sultan Sulaiman Siah (1838-1857 M)
- Sultan Mansur Syah (1857-1870 M)
- Sultan Mahmud Syah (1870-1874 M)
- Sultan Muhammad Daud Syah (1874-1903 M)
Kehidupan Ekonomi Kerajaan Aceh
Kehidupan ekonomi masyarakat Aceh adalah dalam bidang pelayaran dan perdagangan. Pada masa kejayaannya, perekonomian berkembang pesat. Penguasaan Aceh atas daerah-daerah pantai barat dan timur Sumatra banyak menghasilkan lada. Sementara itu, Semenanjung Malaka banyak menghasilkan lada dan timah. Hasil bumi dan alam menjadi bahan ekspor yang penting bagi Aceh, sehingga perekonomian Aceh maju dengan pesat.
Bidang perdagangan yang maju menjadikan Aceh makin makmur. Setelah Sultan Ibrahim dapat menaklukkan Pedir yang kaya akan lada putih, Aceh makin bertambah makmur. Dengan kekayaan melimpah, Aceh mampu membangun angkatan bersenjata yang kuat. Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, Aceh mencapai puncak kejayaan. Dari daerah yang ditaklukkan didatangkan lada dan emas sehingga Aceh merupakan sumber komoditas lada dan emas.
Aceh mengalami pertumbuhan yang sangat cepat menjadi kerajaan besar karena didukung oleh faktor, diantaranya yaitu:
- Letak ibu kota Aceh sangat strategis, yaitu di pintu gerbang pelayaran dari India dan Timur Tengah yang akan ke Malaka, Cina, atau ke Jawa.
- Pelabuhan Aceh (Olele) memiliki persyaratan yang baik sebagai pelabuhan dagang. Pelabuhan itu terlindung oleh Pulau We, Pulau Nasi, dan Pulau Breuen dari ombak besar.
- Daerah Aceh kaya dengan tanaman lada sebagai mata dagangan ekspor yang penting. Aceh sejak dahulu mengadakan hubungan dagang internasional.
- Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis menyebabkan pedagang Islam banyak yang singgah ke Aceh, apalagi setelah jalur pelayaran beralih melalui sepanjang pantai barat Sumatra.
Kehidupan Sosial-Budaya Kerajaan Aceh
Letak Aceh yang strategis menyebabkan perdagangannya maju pesat. Dengan demikian, kebudayaan masyarakatnya juga makin bertambah maju karena sering berhubungan dengan bangsa lain. Contoh dari hal tersebut adalah tersusunnya hukum adat yang dilandasi ajaran Islam yang disebut Hukum Adat Makuta Alam.
Menurut Hukum Adat Makuta Alam pengangkatan sultan haruslah semufakat hukum dengan adat. Untuk itu, saat seorang sultan dinobatkan, ia berdiri di atas tabal, ulama yang memegang Al-Qur’an berdiri di kanan, sedangkan perdana menteri yang memegang pedang berdiri di kiri.
Hukum Adat Makuta Alam memberikan gambaran kekuasaan Sultan Aceh, seperti berikut:
- Mengangkat panglima sagi dan ulebalang, pada saat pengangkatan mereka mendapat kehormatan bunyi dentuman meriam sebanyak 21 kali
- Mengadili perkara yang berhubungan dengan pemerintahan
- Menerima kunjungan kehormatan termasuk pedagang-pedagang asing
- Mengangkat ahli hukum (ulama)
- Mengangkat orang cerdik pandai untuk mengurus kerajaan
- Melindungi rakyat dari kesewenang-wenangan para pejabat kerajaan.
Dalam menjalankan kekuasaan, sultan mendapat pengawasan dari alim ulama, kadi dan Dewan Kehakiman. Tugas utama mereka adalah memberi peringatan kepada sultan terhadap pelanggaran adat dan syara’ yang dilakukan.
Sultan Iskandar Muda berhasil menanamkan jiwa keagamaan pada masyarakat Aceh yang mengandung jiwa merdeka, semangat membangun, rasa persatuan dan kesatuan, serta semangat berjuang anti penjajahan yang tinggi. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan jika Aceh mendapat sebutan Serambi Mekah. Itu sebabnya, bangsa-bangsa Barat tidak mampu menembus pertahanan Aceh.
Masa Kejayaan Kerajaan Aceh
Kerajaan Aceh mengalami puncak kejayaan pada masa kepemimpinan Raja Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Aceh berhasil mengalami peningkatan di beberapa aspek meliputi bidang ekonomi, politik, hubungan internasional, perdagangan, militer, dan perkembangan agama Islam. Selain itu, Aceh juga berhasil mendesak kedudukan Portugis di wilayah Selat Malaka akibat perkembangan yang berlangsung saat dipimpin oleh Iskandar Muda.
Dalam pemerintahannya, Sultan Iskandar memperluas wilayah teritorialdan terus meningkatkan perdagangan rempah-rempah menjadi suatu komoditas ekspor yang berpotensi bagi kemakmuran masyarakat Kerajaan Aceh. Ia berhasil menguasai Pahang (1618), daerah Kedah (1619), serta Perak (1620), dimana daerah tersebut merupakan penghasil timah. Bahkan pada masa kepimpinannya, Kerajaan Aceh mampu menyerang kedudukan kerajaan Johor dan Melayu hingga Singapura (1613 dan 1615).
Pada pemerintahan Sultan Iskandar Muda kejayaan bisa dilihat dari politik luar negeri Kerajaan Aceh. Ia berhasil melakukan hubungan politik dengan bangsa Inggris, Turki, Belanda dan Francis. Iskandar Muda pernah mengirim utusan menuju ke Turki dengan membawa hadiah berupa lada 1 karung, langkah yang dilakukan tersebut kemudian dibalas dengan dengan diberikannya bantuan militer berupa tentara dan sebuah meriam.
Kemajuan juga terjadi pada bidang Agama yaitu Kerajaan Aceh berhasil melahirkan ulama yang cukup ternama, karangan para ulama dijadikan rujukan, contohnya ulama Hamzah Fansuri pada bukunya. Selain itu, terjadi pula kemajuan pada bidang lain. Dalam bidang ekonomi, kerajaan ini berhasil melakukan hubungan ekonomi dan perdagangan dengan bangsa lain seperti Arab, Turki, Mesir, India, Inggris, Francis, Jepang dan Cina. Komoditas yang di import secara lengkap yang terdapat pada Kitab Adat Aceh meliputi anggur, beras, gula, sekar lumat, kurma, guci, timah, tekstil, katun, besi, batik, kertas, kipas dan opium. Sementara komoditas ekspornya yaitu lada, timah, saapan, damar, kayu cendana, gandaruken, obat-obatan, getah perca dan damar.
Dibawah kepemimpinan Sultan Iskandar Muda Kerajaan Aceh berlangsung dengan lancar tentram dan aman. Kerajaan Aceh memiliki titik-titik sebagai pusat ekonomi, yaitu daerah pelabuhan yang terdapat di pantai timur, barat sampai selatan. Pusat perekonomian ini membuat kerajaan Aceh menjadi kaya, rakyatnya hidup makmur dan sejahtera.
Runtuhnya Kerajaan Aceh
Kerajaan Aceh mengalami masa keruntuhan disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya seperti:
a. Kematian Sultan Iskandar Muda pada tahun 1630, setelah kematian tersebut tidak ada lagi raja yang berhasil mengendalikan wilayah kerajaan Aceh yang sangat luas. Setelah kerajaan ini dipimpin oleh Sultan Iskandar Thani pada tahun 1637-1641, Kerajaan Aceh mulai mengalami kemunduran. Bahkan setelah Iskandar Thani kemunduran sangat terasa pada kerajaan ini.
b. Munculnya pertikaian yang terjadi di Kerajaan Aceh yang berlangsung terus menerus antara golongan ulama dan bangsawan membuat kerajaan ini semakin melemah. Pertikaian yang terjadi disebabkan oleh perbedaan aliran keagamaan yaitu antara aliran Sunnah wal Jama’ah dan Syiah.
c. Daerah kekuasaan Kerajaan Aceh semakin sedikit, hal ini karena daerah seperti Pahang, Johor, Siak dan Minangkabau melepaskan diri. Daerah yang memisahkan diri kemudian menjadi kerajaan yang merdeka dari kekuasaan aceh. Kemerdekaan tersebut juga ada yang berhasil dilakukan dengan bantuan asing dengan motif perdagangan. Selama kurang lebih 4 abad Kerajaan Aceh berkuasa, akhirnya mengalami keruntuhan pada awal abad ke-20 karena berhasil dikuasai oleh bangsa Belanda.
Demikian artikel pembahasan tentang “Sejarah Berdirinya Kerajaan Aceh, Raja, Kehidupan, Kejayaan dan Keruntuhan Kerajaan Aceh Lengkap“, semoga bermanfaat.