Sejarah Kerajaan Mataram Kuno – Dalam sejarah Indonesia, kalian tentu mempelajari tentang kerajaan yang ada di Indonesia mulai dari kerajaan bercorak hindu, buddha juga islam. Salah satu kerajaan bercorak hindu di Indonesia yaitu kerajaan mataram kuno.
Baca Juga : Nama Kerajaan di Indonesia
Kali ini kita akan membahas tentang sejarah berdirinya kerajaan mataram kuno, silsilah raja, kehidupan politik, kehidupan ekonomi, kehidupan sosial budaya, peninggalan atau bukti sejarah, masa kejayaan dan runtuhnya kerajaan mataram kuno secara lengkap.
Kerajaan Mataram Kuno
Kerajaan Medang atau Kerajaan Mataram Kuno atau Kerajaan Mataram Hindu adalah nama kerajaan yang berdiri pada abad ke-8 lalu berpindah ke Jawa Timur pada abad ke-10.
Para raja kerajaan ini banyak meninggalkan bukti sejarah berupa prasasti-prasasti yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta membangun banyak candi baik yang bercorak Hindu maupun Buddha. Kerajaan Medang akhirnya runtuh pada awal abad ke-11.
Pada umumnya, istilah Kerajaan Medang hanya lazim dipakai untuk menyebut periode Jawa Timur saja, padahal berdasarkan prasasti-prasasti yang telah ditemukan, nama “Medang” sudah dikenal sejak periode sebelumnya, yaitu periode Jawa Tengah.
Sementara itu, nama yang lazim dipakai untuk menyebut Kerajaan Medang periode Jawa Tengah adalah Kerajaan Mataram, yaitu merujuk kepada salah satu daerah ibu kota kerajaan ini. Kadang untuk membedakannya dengan Kerajaan Mataram Islam yang berdiri pada abad ke-16, Kerajaan Medang periode Jawa Tengah biasa pula disebut dengan nama Kerajaan Mataram Kuno atau Kerajaan Mataram Hindu.
“Bhumi Mataram” adalah sebutan lama untuk Yogyakarta dan sekitarnya. Di daerah inilah untuk pertama kalinya istana Kerajaan Medang diperkirakan berdiri (Rajya Medang i Bhumi Mataram). Nama ini ditemukan dalam beberapa prasasti, misalnya prasasti Minto dan prasasti Anjuk ladang. Istilah “Mataram” kemudian lazim dipakai untuk menyebut nama kerajaan secara keseluruhan, meskipun tidak selamanya kerajaan ini berpusat di sana.
Baca Juga : Kerajaan Majapahit
Sebenarnya, pusat Kerajaan Medang pernah mengalami beberapa kali perpindahan, bahkan sampai ke daerah Jawa Timur sekarang. Beberapa daerah yang pernah menjadi lokasi istana Medang berdasarkan prasasti-prasasti yang sudah ditemukan antara lain,
- Medang i Bhumi Mataram (zaman Sanjaya)
- Medang i Mamrati (zaman Rakai Pikatan)
- Medang i Poh Pitu (zaman Dyah Balitung)
- Medang i Bhumi Mataram (zaman Dyah Wawa)
- Medang i Tamwlang (zaman Mpu Sindok)
- Medang i Watugaluh (zaman Mpu Sindok)
- Medang i Wwatan (zaman Dharmawangsa Teguh)
Menurut perkiraan, Mataram terletak di daerah Yogyakarta sekarang. Mamrati dan Poh Pitu diperkirakan terletak di daerah Kedu. Sementara itu, Tamwlang sekarang disebut dengan nama Tembelang, sedangkan Watugaluh sekarang disebut Megaluh. Keduanya terletak di daerah Jombang. Istana terakhir, yaitu Wwatan, sekarang disebut dengan nama Wotan, yang terletak di daerah Madiun.
Sejarah Kerajaan Mataram Kuno
Kerajaan Mataram Kuno atau Kerajaan Medang adalah kerajaan yang terletak di Jawa Tengah dengan intinya disebut Bumi Mataram. Daerah tersebut dikelilingi pegunungan dan gunung seperti Gunung Tangkuban Perahu, Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, Gunung Merapi-Merbabu, Gunung Lawu dan Pegunungan Sewu. Selain pegunungan dan gunung, daerah tersebut juga dialiri oleh banyak sungai seperti Sungai Bogowonto, Sungai Progo, Sungai Elo dan Sungai Bengawan Solo.
Baca Juga : Sejarah Kerajaan Kutai
Pada awal berdirinya, pusat Kerajaan Mataram Kuno diperkirakan berada di daerah Mataram (dekat Yogyakarta sekarang). Kemudian, pada masa pemerintahan Rakai Pikatan dipindah ke Mamrati (daerah Kedu). Setelah itu, pada masa pemerintahan Dyah Balitung pindah lagi ke Poh Pitu (masih di sekitar Kedu). Lalu, pada zaman pemerintahan Dyah Wawa diperkirakan kembali ke daerah Mataram. Pada masa pemerintahan Mpu Sindok, istana Medang pindah ke wilayah Jawa Timur sekarang.
Kerajaan Mataram Kuno ini merupakan kerajaan yang bercorak agraris. Tercatat ada 3 wangsa atau dinasti yang pernah menguasai Kerjaan Mataram Kuno yaitu Wangsa Sanjaya, Wangsa Syailendra dan Wangsa Isana. Wangsa Sanjaya merupakan penganut agama Hindu beraliran Syiwa, Wangsa Syailendra merupakan penganut agama Budha, sedangkan Wangsa Isana merupakan Wangsa baru yang didirikan oleh Mpu Sindok.
Raja pertama Kerajaan Mataram Kuno adalah Sanjaya, Sanjaya juga merupakan pendiri Wangsa Sanjaya yang menganut agama Hindu. Setelah wafat, Sanjaya digantikan oleh Rakai Panangkaran yang kemudian berpindah agama Budha beraliran Mahayana. Saat itulah Wangsa Sayilendra berkuasa. Pada saat itu, baik agama Hindu dan Budha berkembang di Kerajaan Mataram Kuno. Bagi yang beragama Hindu tinggal di Jawa Tengah bagian utara dan bagi yang menganut agama Buddha berada di wilayah Jawa Tengah bagian selatan.
Wangsa Sanjaya kembali memerintah setelah anak Raja Samaratungga, Pramodawardhani menikah dengan Rakai Pikatan yang menganut agama Hindu. Pernikahan tersebut membuat Rakai Pikatan menjadi Raja dan memulai kembali Wangsa Sanjaya. Rakai Pikatan juga berhasil menyingkirkan seorang Wangsa Sailendra bernama Balaputradewa yang merupakan saudara Pramodawardhani. Balaputradewa lalu mengungsi ke Kerajaan Sriwijaya yang kemudian menjadi Raja di kerajaan tersebut.
Baca Juga : Sejarah Kerajaan Aceh
Masa pemerintahan Wangsa Sanjaya berakhir pada masa Rakai Sumba Dyah Wawa. Berakhirnya Kepemerintahan Sumba Dyah Wawa masih diperdebatkan. Terdapat teori yang mengatakan bahwa saat itu terjadi bencana alam yang membuat pusat Kerajaan Mataram hancur. Mpu Sindok lalu menggantikan Rakai Sumba Dyah Wawa sebagai raja dan memindahkan pusat Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Timur dan membangun wangsa baru bernama Wangsa Isana.
Raja Raja Kerajaan Mataram Kuno
Berikut ini nama nama raja yang pernah memerintah kerajaan mataram kuno atau silsilah kerajaan mataram kuno, diantaranya yaitu:
Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya (717-746 M)
Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya adalah raja pertama Kerajaan Medang periode Jawa Tengah yang berkuasa pada tahun 717-746 Masehi. Namanya disebut dalam prasasti Canggal dan prasasti Mantyasih, serta teks naskah Carita Parahyangan.
Prasasti Canggal juga menceritakan bahwa sebelum Ratu Sanjaya berkuasa sudah ada raja lain yang bernama Sanna yang berkuasa di Pulau Jawa. Setelah Sanna mangkat karena gugur ketika diserang musuh, keadaan Pulau Jawa menjadi kacau. Sanjaya anak dari Sannaha (saudara perempuan dari Raja Sanna) kemudian dia tampil sebagai raja. Dengan gagah berani ia mengalahkan raja-raja lain di sekitarnya, sehingga Pulau Jawa kembali damai.
Sri Maharaja Rakai Panangkaran (746-784 M)
Sri Maharaja Rakai Panangkaran Dyah Pancapana adalah raja kedua dari Kerajaan Medang dalam periode Jawa Tengah. Ia berkuasa sekitar abad 770-an. Prasasti Kalasan abad 778 menyebutkan bahwa prasasti ini merupakan piagam peresmian tentang pembangunan sebuah candi bercorak Buddha yang bernama Tarabhavanam (Buana Tara) untuk memuja Dewi Tara. Pembangunan candi ini atas permintaan dari para guru raja Sailendra. Dalam isi prasasti itu Rakai Panangkaran dipuji sebagai Sailendrawangsatilaka atau “permata Wangsa Sailendra”. Candi yang didirikan oleh Raja Rakai Panangkaran dikenal dengan Candi Kalasan.
Dalam isi prasasti Mantyasih menyebut bahwa Sanjaya adalah raja pertama dari Kerajaan Medang, berarti Rahyangta i Medang dalam isi prasasti Wanua Tengah III adalah Sanjaya itu sendiri. Karena itu, dapat dikatakan bahwa Raja Rakai Panangkaran adalah keponakan dari Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya.
Sri Maharaja Rakai Panunggalan alias Dharanindra (784-803 M)
Baca Juga : Sejarah Kerajaan Ternate dan Tidore
Dharanindra atau Indra adalah Maharaja dari Wangsa Sailendra yang memerintah Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Medang atau Mataram Kuno berkuasa sekitar abad 782 Masehi. Namanya dicatat dalam Prasasti Kelurak dengan disertai gelar Sri Sanggrama Dhananjaya. Dharanindra diyakini telah berhasil menalukkan kerajaan lain disekitarnya dan berkuasa dari Semenanjung Malaya hingga daratan Indocina.
Nama Maharaja Dharanindra tercatat di dalam prasasti Kelurak tahun 782. Dalam isi dari prasasti ini ia dipuji sebagai Wairiwarawiramardana yang berarti “penumpas musuh-musuh perwira”. Julukan ini sangat mirip dengan apa yang ada dalam isi prasasti Nalanda, yaitu Wirawairimathana dan isi dari prasasti Ligor B yaitu Sarwwarimadawimathana.
Sri Maharaja Rakai Warak alias Samaragrawira (803-827 M)
Sri Maharaja Rakai Warak adalah raja keempat Kerajaan Medang atau Kerajaan Mataram Kuno dan Maharaja dari Kerajaan Sriwijaya yang berkuasa pada sekitar tahun 802. Ada teori yang dikemukakan oleh sejarawan Slamet Muljana yang berpendapat bahwa, nama asli Raja Rakai Warak adalah Samaragrawir yaitu ayah dari Maharaja Balaputradewa, raja Kerajaan Sriwijaya. Nama Samaragrawira ada dalam isi prasasti Nalanda sebagai ayah dari Maharaja Balaputradewa dari Kerajaan Sriwijaya. Samaragrawira adalah putra dari seseorang raja yang dijuluki sebagai Wirawairimathana (penumpas musuh perwira) yaitu Dharanindra.
Sri Maharaja Rakai Garung alias Samaratungga (828-847 M)
Rakai Garung adalah raja kelima dari Kerajaan Mataram Kuno dan anggota dari Wangsa Sanjaya dan merupakan pengganti dari Raja Rakai Warak yang pemerintahannya antara abad 828 sampai abad 847. Nama Raja Rakai Garung dicatat dalam Prasasti Wanua Tengah III sebagai raja yang berkuasa sebelum Raja Rakai Pikatan.
Baca Juga : Sejarah Kerajaan Banten
Menurut sejarawan de Casparis, Raja Rakai Garung sama dengan Dang Karayan Partapan Pu Palar yang ada dalam isi dari Prasasti Gandasuli. Di prasasti ini, Dang Karayan yang mengadakan upacara sima. Nama Pu Palar juga dicatat dalam Prasasti Karangtengah, bersamaan dengan nama dari Pramodawardhani dan Samaratungga. Putri Pramodhawardhani dianggap sama dengan tokoh yang bernama Sri Kaluhunnan. Dengan demikian, de Casparis menganggap bahwa Putri Pramodawardhani adalah menantu dari Raja Rakai Garung yang menikah dengan Rakai Pikatan.
Sri Maharaja Rakai Pikatan (847-855 M)
Sri Maharaja Rakai Pikatan Mpu Manuku adalah Silsilah Kerajaan Mataram Kuno raja keenam dari Kerajaan Medang pada periode Jawa Tengah yang berkuasa sekitar abad 840an-856. Prasasti Wantil dibuat pada tanggal 12 November 856. Prasasti ini mengatakan tentang pendirian bangunan suci Siwagrha, yang diterjemahkan sebagai Candi Siwa. Berdasarkan ciri-ciri yang digambarkan dalam isi dari prasasti ini, Candi Siwa identifikasi sebagai salah satu candi utama pada komplek Candi Prambanan.
Rakai Pikatan alias Rakai Mamrati turun takhta menjadi seorang brahmana yang bergelar Sang Jatiningrat pada abad 856. Takhta Kerajaan Medang kemudian diserahkan oleh putra bungsunya, yaitu Dyah Lokapala alias Rakai Kayuwangi.
Sri Maharaja Rakai Kayuwangi alias Dyah Lokapala (855-885 M)
Sri Maharaja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala Sri Sayyawasanottunggadewaadalah raja ketujuh Kerajaan Medang pada periode Jawa Tengah atau Kerajaan Mataram Kuno yang berkuasa pada tahun 856-880an. Rakai Kayuwangi adalah putra bungsu dari Raja Rakai Pikatan yang dilahirkan oleh permaisuri Pramodawardhani. Nama asli Rakai Kayuwangi adalah Dyah Lokapala (dalam prasasti Wantil) atau Mpu Lokapala (dalam prasasti Argapura).
Tidak diketahui secara pasti Raja Rakai Kayuwangi kapan turun takhta. Menurut isi dalam prasasti Mantyasih, raja sesudah Raja Rakai Kayuwangi adalah Raja Rakai Watuhumalang. Sedangkan, putra mahkota pada masa Raja Rakai Kayuwangi memerintah bernama Rakai Hino Mpu Aku.
Baca Juga : Sejarah Kerajaan Marataram Islam
Sri Maharaja Rakai Watuhumalang (894-898 M)
Sri Maharaja Rakai Watuhumalangadalah seorang raja kedelapan dari Kerajaan Medang pada periode Jawa Tengah yang pemerintahannya sekitar tahun 890-an. Maharaja Rakai Watuhumalang tidak meninggalkan bukti sejarah berupa prasasti atas nama dirinya. Sementara itu dalam prasasti Panunggalan bertanggal 19 November 896 mencatat adanya seorang tokoh yang bernama Sang Watuhumalang Mpu Teguh, yang tidak bergelar maharaja, melainkan hanya bergelar haji (raja bawahan).
Dyah Balitung merupakan menantu dari Rakai Watuhumalang, berarti Rakai Watuhumalang adalah putra atau menantu dari Rakai Pikatan yang dilahirkan oleh selir Rakai Watan Mpu Tamer. Dengan kata lain, Maharaja Rakai Watuhumalang adalah saudara tiri atau ipar dari Rakai Kayuwangi, yang merupakan raja sebelumnya.
Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung (898-913 M)
Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Sri Dharmodaya Mahasambu adalah seorang raja kesembilan dari Kerajaan Medang periode Jawa Tengah atau Kerajaan Mataram Kuno, yang pemerintahannya sekitar abad 899-911. Wilayah kerajaannya mencakup daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, bahkan Bali
Pada masa kepemimpinan Maharaja Dyah Balitung, istana Kerajaan Medang tidak berada di Mataram, ataupun Mamrati, melainkan dipindahkan ke Poh Pitu yang diberi nama Yawapura. Hal ini dikarenakan istana Mamratipura rusak parah akibat dari perang saudara yang dilakukan Rakai Kayuwangi dan Rakai Gurunwangi. Sejarawan Boechari menyatakan bahwa kekuasaan Dyah Balitung berakhir karena pemberontakan oleh Mpu Daksa.
Sri Maharaja Mpu Daksa
Mpu Daksa adalah Silsilah Kerajaan Mataram Kuno raja kesepuluh dari Kerajaan Medang periode Jawa Tengah atau Kerajaan Mataram Kuno yang berkuasa sekitar tahun 913-919, Dengan bergelar Sri Maharaja Daksottama Bahubajra Pratipaksaksaya Uttunggawijaya. Mpu Daksa menjadi raja menggantikan Maharaja Dyah Balitung yang merupakan saudara iparnya. Hubungan kekerabatan ini berdasarkan dari kata Daksa yang sering disebutkan namanya bersamaan dengan istri dari Dyah Balitung dalam catatan beberapa prasasti.
Baca Juga : Sejarah Kerajaan Makassar
Prasasti paling tua atas nama Mpu Daksa sebagai seorang maharaja yang telah ditemukan adalah prasasti Timbangan Wungkal yang bertanggal 913 Masehi. Berisi tentang pengaduan dari Dyah Dewa, Dyah Babru, dan Dyah Wijaya yang dulunya diberikan hak istimewa dari Maharaja Rakai Pikatan, namun kemudian dipermasalahkan oleh Dang Acarya Bhutti yang memiliki jabatan sebagai Sang Pamgat Mangulihi.
Sri Maharaja Rakai Layang Dyah Tulodong
Sri Maharaja Rakai Layang Dyah Tulodong Sri Sajjana Sanmatanuraga Uttunggadewa adalah raja kesebelas dari Kerajaan Medang periode Jawa Tengah atau Kerajaan Mataram Kuno, yang berkuasa sekitar abad 919-924. Rakryan Layang adalah putri Mpu Daksa. Dyah Tulodong menikahinya sehingga diberi gelar Rakai Layang, bahkan naik takhta menggantikan mertuanya, yaitu Mpu Daksa.
Sejarawan Boechari menyatakan pendapat bahwa Dyah Wawa melakukan sebuah kudeta terhadap Maharaja Dyah Tulodong dan Mpu Ketuwijaya. Ada asumsi yang mengatakan, bahwa kudeta ini dibantu oleh Mpu Sindok menjabat sebagai Rakai Halu, dan kemudian jabatannya naik menjadi Rakai Hino.
Sri Maharaja Rakai Sumba Dyah Wawa
Sri Maharaja Rakai Sumba Dyah Wawa Sri Wijayalokanamottungga adalah raja keduabelas dan raja terakhir dari Kerajaan Medang dalam periode Jawa Tengah atau Kerajaan Mataram Kuno, yang berkuasa sekitar abad 924-929. Dyah Wawa adalah sepupu dari Dyah Bhumijaya, putra Maharaja Rakai Kayuwangi. Oleh karena itu, Dyah Wawa tidak berhak atas takhta Maharaja Dyah Tulodhong. Sejarawan Boechari berasumsi bahwa Dyah Wawa melaksanakan kudeta terhadap Maharaja Dyah Tulodhong dari Kerajaan Medang.
Peninggalan bukti sejarah atas nama Dyah Wawa adalah prasasti Sangguran bertanggal 2 Agustus 928 tentang penetapan dari desa Sangguran sebagai sima swatantra atau daerah bebas pajak agar penduduk dari desa tersebut merawat bangunan suci di daerah Kajurugusalyan.
Sri Maharaja Mpu Sindok (awal periode Jawa Timur)
Mpu Sindok adalah raja ke-13 dan raja pertama dari Kerajaan Medang periode Jawa Timur yang berkuasa sekitar tahun 929-947, Dengan gelar Sri Maharaja Rakai Hino Sri Isana Wikramadharmottunggadewa. Mpu Sindok dikatakan sebagai pendiri dari dinasti baru yang bernama Wangsa Isana.
Baca Juga : Sejarah Kerajaan Kediri
Mpu Sindok pada masa kekuasaan dari Dyah Tulodhong diberi gelar sebagai Rakai Mahamantri Halu, sedangkan pada masa kekuasaan dari Dyah Wawa, naik jabatan menjadi Rakai Mahamantri Hino. Kedua jabatan atau gelar ini merupakan jabatan tingkat tinggi yang hanya dapat diberikan kepada keluarga raja. Oleh karena itu, Mpu Sindok adalah seorang bangsawan kelas tinggi dalam Kerajaan Medang.
Maharaja Mpu Sindok adalah raja pertama dari Kerajaan Medang periode Jawa Timur. Sedangkan yang bergelar Rakai Mapatih Hino adalah Mpu Sahasra. Pemerintahan dari Maharaja Mpu Sindok banyak meninggalkan bukti sejarah dalam bentuk prasasti-prasasti.
Sri Maharaja Lokapala (suami Sri Isanatunggawijaya)
Sri Isyana Tunggawijaya adalah raja ke-14 dan ratu perempuan dari Kerajaan Medang yang berkuasa sejak abad 947. Ia berkuasa berdampingan dengan suaminya yang bernama Sri Lokapala. Namanya diambil menjadi nama dari Wangsa Isyana, yaitu sebuah dinasti yang dibangun oleh ayahnya Mpu Sindok yang pemerintahannya di Jawa Timur.
Ratu Sri Isyana Tunggawijaya adalah putri dari Maharaja Mpu Sindok. Tidak banyak ditemukan peninggalan sejarah tentang masa pemerintahannya. Suaminya yang bernama Sri Lokapala adalah bangsawan dari Kerajaan di Bali. Peninggalan sejarah atas nama Sri Lokapala adalah prasasti Gedangan abad 950 yang menyebutkan tentang anugerah pemberian desa Bungur Lor dan desa Asana kepada para pendeta Buddha di Bodhinimba. Tidak diketahui secara pasti kapan pemerintahan Sri Lokapala dan Sri Isyana Tunggawijaya berakhir.
Sri Maharaja Makuthawangsawardhana
Sri Makutawangsawardhana adalah raja ke-15 dari Kerajaan Medang yang berkuasa sebelum tahun 990-an. Masa pemerintahan dari Makutawangsawardhana tidak diketahui secara pasti. Namanya ada dalam prasasti Pucangan sebagai kakek dari Maharaja Airlangga. Disebut bahwa, Maharaja Makutawangsawardhana adalah putra dari pasangan Sri Lokapala dan Ratu Sri Isana Tunggawijaya putri dari Maharaja Mpu Sindok. Prasasti Pucangan juga mengatakan bahwa Makutawangsawardhana mempunyai seorang putri bernama Mahendradatta, yang merupakan ibu dari Maharaja Airlangga.
Baca Juga : Sejarah Kerajaan Tarumanegara
Sri Maharaja Dharmawangsa Teguh (berakhirnya Kerajaan Medang)
Sri Maharaja Isana Dharmawangsa Teguh Anantawikramottunggadewa adalah Silsilah kerajaan mataram kuno ke-16 dan raja terakhir dari Kerajaan Medang yang pemerintahannya pada abad 991-1007 atau 1016. Diceritakan bahwa Dharmawangsa menikahkan putrinya dengan pangeran Airlangga dari Kerajaan Bali. Di tengah pesta pernikahan, tiba-tiba istana Kerajaan Medang diserang oleh pasukan Raja Wurawari dari Kerajaan Lwaram dengan bantuan dari tentara Kerajaan Sriwijaya. Istana Maharaja Dharmawangsa yang berada di kota Wwatan hangus di bakar.
Maharaja Dharmawangsa tewas dalam serangan tersebut, sedangkan Pangeran Airlangga berhasil lolos dari kematian. Tiga tahun kemudian Pangeran Airlangga mendirikan istana baru di daerah Wawatan Mas dan menjadi raja sebagai penerus takhta dari mertuanya.
Peninggalan Kerajaan Mataram Kuno
Terdapat berbagai peninggalan bukti sejarah kerajaan mataram kunoseperti dalam bentuk candi dan juga prasasti. Berikut beberapa candi dan prasasti peninggalan kerajaan mataram kuno:
Candi Peninggalan Mataram Kuno
Karena kerajaan mataram kuno memiliki 2 dinasti besar yang masih berhubungan yaitu dinasti Sanjaya dan dinasti Sailendra, sehingga candi peninggalan kerajaan mataram kuno ini ada yang bercorak Hindu dan ada yang bercorak Budha.
Candi Bercorak Hindu Kerajaan Mataram Kuno diantaranya Candi Gedong Songo, kompleks Candi Dieng, Candi Siwa, Candi Brahma, Candi Wisnu, Candi Sukuh, Candi Boko dan kompleks Candi Prambanan yang berlatar belakang Hindu.
Candi Bercorak Buddha Kerajaan Mataram Kuno diantaranya Candi Kalasan, Candi Borobudur, Candi Mendut, Candi Sewu, dan Candi Plaosan, Candi Sojiwan, Candi Pawon, Candi Sari.
Baca Juga : Sejarah Kerajaan Demak
Prasasti Peninggalan Mataram Kuno
Berikut ini prasasti peninggalan kerajaan mataram kuno:
Prasasti Canggal
Prasasti ini dikeluarkan oleh Raja Sanjaya dengan berangka tahun berbentuk Candrasengkala berbunyi Srutiindriyarasa atau tahun 654 Saka 732 M berhuruf Pallawa dan berbahasa Sanskerta. Isi pokok Prasasti Canggal yaitub pendirian sebuah lingga di Bukit Stirangga untuk keselamatan rakyatnya.
Prasasti Balitung
Dalam prasasti yang berangka tahun 907 M disebutkan nama keluarga raja-raja keturunan Sanjaya memuat nama Panangkaran. Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa pada saat itu Dinasti Sanjaya dan Sailendra sama-sama berperan di Jawa Tengah. Dinasti Sanjaya dibagian utara dengan mendirikan candi Hindu seperti Gedong Sanga di Ungaran, Candi Dieng di Dataran Tinggi Dieng. Sedangkan, Dinasti Sailendra dibagian selatan dengan mendirikan candi Buddha, seperti Borobudur, Mendut, dan Kalasan.
Prasasti Kelurak
Prasasti ini berada di daerah Prambanan berangka tahun 782 disebutkan tentang pembuatan Arca Boddhisatwa Manjusri sebagai perwujudan Buddha, Dharma, dan Sanggha yang bisa disamakan dengan Brahma, Wisnu, dan Siwa yang mencangkup Triratna atau Candi Lumbung yang terletak di sebelah utara Prambanan. Vajradhatu (candi Sewu), dan Trimurti (candi Roro Jongrang). Raja yang memerintah pada waktu itu adalah Indra. Pengganti Indra yang terkenal yaitu Samaratungga yang dalam pemerintahannya mendirikan Candi Borobudur tahun 824.
Prasasti Mantyasih atau Prasasti Kedu
Prasasti ini dibuat oleh Raja Balitung. Prasasti itu menyebutkan bahwa sanjaya adalah raja pertama (Wangsakarta) dengan ibu kota kerajaannya di Medangri Poh Pitu.
Prasasti Karang Tengah
Prasasti Karang Tengah ini dikeluarkan oleh Samaratungga yang berangka tahun Rasa Segara Krtidhasa atau 746 Saka (824 M). Dalam prasasti tersebut disebutkan nama Samaratungga dan putrinya, Pramodhawardhani. Selain itu, disana pula disebutkan pendirian bangunan Jimalaya atau Candi Prambanan oleh Pramodhawardhani.
Baca Juga : Sejarah Kerajaan Bali
Prasasti Nalanda (860 M)
Prasasti ini menceritakan pendirian biara di Nalanda pada masa pemerintahan Raja Dewapaladewa (Kerajaan Pala, India).
Prasasti Purworejo (900 M)
Prasasti ini menceritakan Raja Belitung yang memerintahkan pendirian pusat-pusat perdagangan.
Prasasti Wonogiri (903 M)
Prasasti ini menceritakan tentang dibebaskannya desa di daerah pinggiran sungai Bengawan Solo jika penduduk setempat mampu menjamin kelancaran lalu lintas di sungai tersebut.
Kehidupan Politik Kerajaan Mataram Kuno
Untuk mempertahankan wilayah kekuasaannya, Kerajaan Mataram Kuno menjalin kerjasama dengan kerajaan lain seperti kerajaan Sriwijaya, Siam dan India. Selain itu, Mataram Kuno juga menggunakan sistem perkawinan politik, seperti pada masa pemerintahan Samaratungga yang berusaha menyatukan kembali Wangsa Sailendra dan Wangsa Sanjaya dengan cara menikahkan anaknya yang bernama Pramodyawardhani (Wangsa Sailendra) dengan Rakai Pikatan (Wangsa Sanjaya). Wangsa Sanjaya merupakan penguasa awal di Kerajaan Mataram Kuno, sedangkan Wangsa Sailendra muncul setelahnya (akhir abad ke-8 M). Dengan adanya perkawinan politik tersebut, maka terjalin kerukunan beragama yang sangat erat antara Hindu (Wangsa Sanjaya) dan Buddha (Wangsa Sailendra).
Kehidupan Ekonomi Kerajaan Mataram Kuno
Pusat kerajaan Mataram Kuno berada di Lembah sungai Progo, meliputi daratan Magelang, Muntilan, Sleman, dan Yogyakarta. Daerah tersebut sangat subur sehingga rakyat menggantungkan kehidupannya pada hasil pertanian. Hal inilah yang menyebabkan banyak kerajaan dan daerah lain saling mengekspor dan mengimpor hasil pertaniannya. Usaha untuk meningkatkan dan mengembangkan hasil pertanian telah dilakukan sejak masa pemerintahan Rakai Kayuwangi.
Baca Juga : Sejarah Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Holing
Usaha perdagangan juga mulai mendapat perhatian pada masa pemerintahan Raja Balitung. Raja Balitung memerintahkan membuat pusat perdagangan dan penduduk di sekitar aliran Sungai Bengawan Solo diperintahkan untuk menjamin kelancaran arus lalu lintas perdagangan dengan imbalan penduduk desa tersebut dibebaskan dari pungutan pajak.
Kehidupan Sosial Dan Budaya Kerajaan Mataram Kuno
Meskipun dalam praktik keagamaan, kerajaan mataram kuno terdiri dari agama Hindu dan Buddha, kehidupan sosial mereka sangat baik. Masyarakat tetap hidup rukun dan saling bertoleransi. Salah satu bukti dari sikap tersebut yaitu saat membangun candi borobudur. Selain toleransi beragama, kehidupan sosial kerajaan mataram kuno juga terbukti dengan adanya kepatuhan hukum oleh semua pihak.
Sedangkan, kehidupan kebudayaan kerajaan ini sangat tinggi dibuktikan dengan banyaknya peninggalan prasasti dan juga candi.
Masa Kejayaan Kerajaan Mataram Kuno
Puncak keemasan atau kejayaan kerajaan mataram kuno terjadi pada masa pemerintahan Raja Balitung. Pada masa pemerintahannya, daerah sebelah timur mataram berhasil ditaklukan sehingga daerah kekuasaan mataram semakin luas meliputi Bagelen, Jawa Tengah hingga Malang, Jawa Timur.
Penyebab kejayaan kerajaan Mataram Kuno, diantaranya yaitu:
- Naik tahtanya Sanjaya yang sangat ahli dalam peperangan
- Pembangunan waduk Hujung Galuh di Waringin Sapta (Waringin Pitu) untuk mengatur aliran Sungai Berangas, sehingga banyak kapal dagang dari Benggala, Sri Lanka, Chola, Champa, Burma dan lain sebagainya datang ke pelabuhan waduk tersebut.
- Pindahnya kekuasaan kerajaan Mataram Kuno dari Jawa Tengah ke Jawa Timur yang didasari oleh:
a. Adanya sungai besar, seperti Sungai Brantas dan Bengawan Solo yang sangat memudahkan lalu lintas perdagangan.
b. Adanya dataran rendah yang luas sehingga memungkinkan penanaman padi dalam jumlah besar.
c. Lokasi Jawa Timur yang berdekatan dengan jalan perdagangan utama pada saat itu, yakni jalur perdagangan rempah dari Maluku ke Malaka.
Baca Juga : Sejarah Kerajaan Makassar
Runtuhnya Kerajaan Mataram Kuno
Runtuhnya kerajaan Mataram Kuno terjadi karena dipicu oleh permusuhan antara Jawa dan Sumatra yang dimulai saat pengusiran Balaputradewa oleh Rakai Pikatan. Balaputradewa yang kemudian menjadi Raja Sriwijaya menyimpan dendam pada Rakai Pikatan. Perselisihan keduanya, berkembang menjadi permusuhan turun-temurun pada generasi berikutnya. Selain itu, Medang dan Sriwijaya juga bersaing untuk menguasai lalu lintas perdagangan di Asia Tenggara.
Permusuhan Wangsa Sailendra terhadap Jawa terus berlanjut hingga saat Wangsa Isana berkuasa. Pada waktu Mpu Sindok memulai periode Jawa Timur, pasukan Sriwijaya datang menyerang, pertempuran tersebut terjadi di daerah Anjukladang (sekarang Nganjuk, Jawa Timur) dan dimenangkan oleh pihak Mpu Sindok.
Kerajaan Mataram Kuno runtuh pada masa pemerintahan Raja Dharmawangsa Teguh yang merupakan cicit Mpu Sindok. Pada saat itu, perselisihan antara Mataram Kuno dan Sriwijaya sedang memanas. Tercatat Sriwijaya pernah menyerang Mataram Kuno namun pertempuran tersebut dimenangkan oleh Dharmawangsa. Dharmawangsa juga pernah mengiring serangan ke ibukota Sriwijaya. Hingga pada tahun 1006/1016 Dharmawangsa lengah, saat ia mengadakan pesta perkawinan putrinya, istana Medang di Wwatan diserang oleh Aji Wurawari dari Lwaram yang diduga sekutu Kerajaan Sriwijaya. Dalam peristiwa penyerangan tersebut, Dharmawangsa tewas.
Baca Juga : Sejarah Kerajaan Singasari
Demikian pembahasan tentang sejarah berdirinya kerajaan mataram kuno, silsilah raja, kehidupan politik, kehidupan ekonomi, kehidupan sosial budaya, peninggalan atau bukti sejarah, masa kejayaan dan runtuhnya kerajaan mataram kuno secara lengkap. Semoga bermanfaat dan jangan lupa ikuti postingan lainnya.