Sejarah Politik Etis, Pengertian, Tokoh, Latar Belakang, Isi, Pelaksanaan, Dampak, dan Penyimpangannya Lengkap – Pada zaman penjajahan Belanda di Indonesia, terdapat sebuah sistem politik bernama sistem tanam paksa (Cultuurstelsel) yang mewajibkan setiap desa di Indonesia saat itu menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor, khususnya kopi, tebu, teh, dan tarum (nila) oleh pemerintahan belanda. Sistem tanam paksa tersebut menyebabkan penderitaan bagi bangsa Indonesia.
Sejak pemerintah kolonial Belanda memberlakukan sistem tanam paksa di Indonesia, banyak menimbulkan penderitaan bagi rakyat pribumi seperti kemiskinan, kelaparan bahkan kematian. Selain itu banyak juga penduduk yang meninggalkan tanah kelahirannya hanya sekedar untuk menghindari diri dari sistem tanam paksa yang dijalankan oleh pemerintah kolonial Belanda.
Pada umumnya, rakyat di Belanda tidak tahu kekejaman di daerah tanah jajahan akibat tanam paksa tapi hal ini meningkatkan kemakmuran bagi rakyat belanda. Kemudian pada tahun 1850, berita kekejaman yang dilakukan pemerintah kolonial belanda terdengar oleh rakyat belanda, sehingga muncul perdebatan diantara para tokoh di negeri Belanda yang peduli terhadap nasib bangsa Indonesia akibat dari kebijakan tanam paksa.
Untuk mengkritik politik tanam paksa, kaum Etis yang dipelopori oleh Pieter Brooshooft (wartawan Koran De Locomotief) dan Conrad Theodore van Deventer (politikus) ternyata membuka mata pemerintah kolonial untuk lebih memperhatikan nasib para bumiputera yang terbelakang dengan mengusulkan politik etis. Namun, apa latar belakang yang membuat conrad theodore van deventer mengusulkan politik etis?
Pengertian Politik Etis
Politik Etis atau Politik Balas Budi adalah politik yang diperjuangkan untuk mengadakan desentralisasi, kesejahteraan rakyat serta efisiensi (di daerah jajahan). Politik etis (politik balas budi) merupakan suatu pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan bumiputera. Pemikiran ini merupakan kritik terhadap politik tanam paksa.
Baca Juga: Kebijakan Pemerintah Kolonial Di Indonesia
Politik etis ini muncul pada tahun 1890 atas desakan golongan liberal dalam parlemen Belanda. Mereka yang berhaluan progresif tersebut memberikan usulan agar pemerintah Belanda memberikan perhatian kepada masyarakat Indonesia yang telah bersusah payah mengisi keuangan negara Belanda melalui program tanam paksa. Desakan ini muncul dari pemikiran bahwa negeri Belanda telah berutang banyak atas kekayaan bangsa Indonesia yang dinikmati oleh Belanda.
Desakan untuk melaksanakan politik etis mendapat dukungan dari pemerintah Belanda. Dalam pidato negara pada tahun 1901, Ratu Belanda, Wihelmina mengatakan: “Negeri Belanda mempunyai kewajiban untuk mengusahakan kemakmuran dari penduduk Hindia Belanda”. Pidato tersebut menandai awal kebijakan memakmurkan Hindia Belanda yang dikenal dengan Politik Etis atau Politik Balas Budi.
Politik etis mulai dilakukan pada 1901 yang berisi tiga tindakan, yaitu edukasi (pendidikan), irigasi (pengairan), dan transmigrasi (perpindahan penduduk). Pencetus politik etis (politik balas budi) adalah C.Th. van Deventer yang merupakan seorang politikus. Van Deventer memperjuangkan nasib bangsa Indonesia dengan menulis karangan dalam majalah De Gids yang berjudul Eeu Eereschuld (Hutang Budi). Van Deventer menjelaskan bahwa Belanda telah berhutang budi kepada rakyat Indonesia. Hutang budi itu harus dikembalikan dengan memperbaiki nasib rakyat, mencerdaskan dan memakmurkan.
Latar Belakang Politik Etis
Latar belakang munculnya politik etis, diantaranya yaitu:
- Sistem tanam paksa menimbulkan penderitaan rakyat Indonesia.
- Sistem ekonomi liberal tidak memperbaiki kesejahteraan rakyat.
- Belanda melakukan penekanan dan penindasan terhadap rakyat.
- Rakyat kehilangan tanahnya.
- Adanya kritik dari kaum intelektual Belanda sendiri.
Tujuan Politik Etis
Tujuan politik etis adalah untuk memajukan tiga bidang yaitu edukasi dengan menyelenggarakan pendidikan, irigasi dengan membangun sarana dan jaringan pengairan, dan transmigrasi/imigrasi dengan mengorganisasi perpindahan penduduk.
Politik etis yang dilakukan Belanda dengan memperbaiki bidang irigasi, pertanian, transmigrasi, dan pendidikan, sekilas memang kelihatan mulia. Tapi dibalik itu, tujuan program-program tersebut dimaksudkan untuk kepentingan Belanda sendiri.
Baca Juga : Sejarah Berdirinya VOC
Sejarah Pelaksanaan Politik Etis Di Indonesia
Sejak pemerintah kolonial Belanda memberlakukan sistem tanam paksa di Indonesia, banyak penderitaan yang dialami rakyat pribumi seperti kemiskinan, kelaparan hingga kematian. Selain itu, banyak penduduk yang meninggalkan tanah kelahirannya untuk menghindari diri dari kekejaman sistem tanam paksa yang dijalankan pemerintah kolonial Belanda.
Berbagai penderitaan pada saat itu banyak dialami oleh masyarakat Indonesia, contohnya kejadian diberbagai wilayah di Indonesia, seperti pada tahun 1843 di Cirebon banyak penduduk yang meninggalkan daerahnya dan terjadi kelaparan yang sangat memprihatinkan di daerah Demak dan Grobogan yang mengakibatkan kematian secara besar-besaran. Sedangkan umumnya rakyat Belanda banyak yang tidak tahu atas kekejaman di daerah tanah jajahannya yang diakibatkan kebijakan tanam paksa, sebaliknya kebijakan tersebut sudah meningkatkan kemakmuran rakyat Belanda, karena banyak mendapat keuntungan yang sangat melimpah, sedangkan akibat pelaksanaan politik tanam paksa masyarakat pribumi (masyarakat Indonesia) semakin menderita.
Sekitar tahun 1850, rakyat Belanda memperoleh berita mengenai kejadian yang sebenarnya di Indonesia yang ditimbulkan penerapan tanam paksa tersebut, sehingga sekitar tahun 1850-1860 timbul terjadi perdebatan diantara para tokoh di negeri Belanda yang peduli pada nasib bangsa Indonesia akibat kebijakan tanam paksa.
Sekitar pertengahan abad ke-19 mulai ada gerakan humanis di Belanda yang dipelopori oleh Conrad Theodore van Deventer (1857-1915) yang merupakan seorang ahli hukum Belanda. Gerakan ini muncul setelah adanya berita mengenai perilaku praktek penindasan kolonial di Hindia Belanda. Gerakan ini menilai bahwa Belanda sudah berhutang budi banyak pada Hindia Belanda. Belanda sudah mengambil banyak dari negeri jajahan, praktis tanpa memberi apa-apa. Gerakan tersebut menuntut perubahan bentuk hubungan yang menguntungkan sefihak itu menjadi hubungan yang saling menguntungkan (symbiosis mutualism).
Ada juga yang tergolong kelompok kaum humaniter lainnya seperti Walter Baron Van Hoevel, Fransen Van De Futte, juga seorang Perdana Menteri Torbeck tampil ke depan untuk membela kepentingan bangsa Indonesia. Pada saat itu, tokoh yang dianggap paling berhasil merubah opini rakyat Belanda dengan sebuah karya tulisannya adalah Douwes Dekker dengan nama samaran “Multatuli” yang berjudul Max Havelaar.
Baca Juga : Sejarah Berdirinya Budi Utomo
Politik Etis atau Politik Balas Budi adalah suatu pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan bumiputera.
Pada awal dirumuskan, kebijakan politik etis kolonial belanda ini menimbulkan sikap pro dan kontra, baik di kalangan intelektual, politisi dan rohaniawan (kalangan gereja) di Belanda. Ada sebagian yang menentang di Parlemen Belanda, tapi ada yang mendukung program ini yang mereka anggap sebagai sesuatu yang “manusiawi” atau bahkan sebagai “kewajiban moral” terhadap rakyat Indonesia.
Pada 17 September 1901, Ratu Wilhelmina yang baru naik tahta menegaskan dalam pidato pembukaan Parlemen Belanda, bahwa pemerintah Belanda memiliki panggilan moral dan hutang budi (een eerschuld) terhadap bangsa pribumi di Hindia Belanda. Ratu Wilhelmina menuangkan panggilan moral tadi ke dalam kebijakan politik etis, yang terangkum dalam program Trias Politika atau Trias Van Deventer yang meliputi:
- Irigasi (pengairan), yaitu membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian
- Emigrasi, yaitu mengajak penduduk untuk transmigrasi.
- Memperluas dalam bidang pengajaran dan pendidikan (edukasi).
Banyak pihak menghubungkan kebijakan baru politik Belanda tersebut dengan pemikiran dan tulisan-tulisan Van Deventer yang diterbitkan beberapa waktu sebelumnya, salah satunya pada tulisan yang berjudul Een Eereschuld (Hutang Kehormatan) dimuat dalam harian De Gids tahun 1899. Sehingga Van Deventer kemudian dikenal sebagai pencetus politik etis ini.
Terlepas dari pro dan kontra kebijakan tersebut, setelah Ratu Wilhelmina mengeluarkan pidato di Staten General pada tahun 1901, maka kebijakan politik etis tersebut mulai berlaku di lapangan secara nyata. Sebelum tahun 1901 politik Belanda semata-mata mementingkan tuntutan ekonomi, yang karena itu penghisapan kekayaan terhadap Indonesia sama sekali tidak memperhitungkan rakyat Indonesia. Dengan adanya pidato Ratu Wilhelmina tersebut dimungkinkan ada keseimbangan antara unsur menjajah dengan unsur memiliki “kewajiban moral” tersebut.
Jabaran politik etis oleh Van Deventer dikonsepsikan dalam wujud irigasi, edukasi dan emigrasi. Dukungan yang awalnya muncul dari kalangan kapitalis dan industrialis Belanda pada hakekatnya berkeinginan untuk memasarkan hasil industrinya sambil melakukan perbaikan ekonomi rakyat Indonesia. Namun kebijakan pertama dan kedua disalahgunakan oleh Pemerintah Belanda dengan membangun irigasi untuk perkebunan Belanda dan emigrasi dilakukan dengan memindahkan penduduk ke daerah perkebunan Belanda untuk dijadikan pekerja rodi. Hanya pendidikan yang berarti bagi bangsa Indonesia.
Perbaikan sosial yang mulai ditanggapi diantaranya dalam hal pendidikan. Mengapa ini dilakukan? karena masalah pendidikan (edukasi) hampir tidak tergarap dan memang sengaja tidak digarap sebelum Politik Etis dicetuskan. Hal ini tergambar dalam tulisan Van Deventer dalam majalah De Gids (1908) berikut ini: “Sampai pada waktu-waktu yang terakhir, hampir ada kita memikirkan pendidikan kecerdasan dan penyempurnaan akal budi pekeerti bangsa Bumiputera. Asal pajak dibayarkan, kewajiban rodi dan bertanam dilakukannya, asal kehidupan rakyat tidak sengsara, memadailah. Maka senanglah hati pemerintah.”
Pada tahun 1905 yang merupakan tahun pemilihan di Belanda, Van Deventer dan pendukungnya menang dalam Parlemen Belanda, karena itu mereka menjadi pemeran utama dalam pembentukan kabinet. Seorang anggota partai Demokrat Liberal, D. Fock, menjadi Menteri Jajahan. Dia bersedia memajukan dan meluaskan pendidikan para pribumi. Usaha ini terdukung oleh saran dan konsep Snouck Hurgronje, seorang profesor indolog di Leiden (1906) yang menyarankan agar pemerintah kolonial Belanda memberikan pendidikan kepada elit pribumi dalam tradisi yang paling baik dari Barat yang nantinya diharapkan menjadi tokoh penting yang berpengaruh luas dalam masyarakat Indonesia.
Baca Juga : Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Sesuai dengan semangat politik etis, pemerintah kolonial Belanda memperbanyak jumlah sekolah. Pengaruh politik etis dalam bidang pengajaran dan pendidikan sangat berperan sekali dalam pengembangan dan perluasan dunia pendidikan dan pengajaran di Hindia Belanda. Salah seorang dari kelompok etis yang sangat berjasa dalam bidang ini adalah Mr. J.H. Abendanon (1852-1925) yang Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan selama lima tahun (1900-1905). Sejak tahun 1900 inilah berdiri sekolah-sekolah dengan gaya barat, baik untuk kaum priyayi maupun rakyat biasa yang hampir merata di daerah-daerah. Pada tahun 1903 mulai didirikan sekolah rendah yang dinamakan Volk School (Sekolah Desa) dengan masa belajar 3 tahun yang kemudian dilanjutkan dengan program Vervolg School (sekolah Lanjutan) dengan masa belajar selama 2 tahun. Pemulaan sekolah ini kemudian dilanjutkan untuk tahun-tahun berikutnya, misalnya yang dinamakan Meer Uitgebreid Leger Onderwijs (MULO), yaitu sebuah sekolah yang jenjangnya setingkat dengan SMP pada zaman Belanda dan program Algemeene Middelbare School (AMS) yang jenjangnya setingkat dengan SMA.
Meski tampak cukup baik tujuan didirikan sekolah-sekolah tersebut, tapi dalam prakteknya secara langsung ada kecenderungan diskriminatif. Kecenderungan tersebut nampak dalam hal cara menyaring anak sekolah dengan memberlakukan biaya sekolah yang cukup mahal, dan juga sering diutamakan bagi keluarga yang memiliki keturunan darah biru (darah ningrat, darah keraton) atau dari kalangan para “priyayi” (pangreh praja atau pegawai dalam kantor pemerintah Belanda). Karena itu, masyarakat yang kurang berpunya atau miskin terpaksa tidak dapat memasukkan anak-anaknya ke sekolah, atau paling tidak terpaksa mengambil alternatif lain, misalnya memasukkan anak-anaknya ke dalam pondok pesantren.
Sebenarnya, tujuan penyelenggaraan sekolah yang dilakukan Belanda tidak murni untuk memberdayakan pendidikan masyarakat, tapi justru untuk menghasilkan tenaga birokrat (sesuai dengan level pendidikannya) untuk bisa direkrut dalam jabatan-jabatan teknis di pemerintahan kolonial Belanda. Sebagai contoh, sejak 1864 oleh Belanda telah diintroduksi sebuah program ujian yang disebut Klein Ambtenaars’ Examen, yaitu sebuah program ujian pegawai rendah yang harus ditempuh agar seseorang bisa diangkat sebagai pegawai pemerintah. Untuk itu, nampak jelas bahwa program untuk menciptakan birokrat rendahan yang cukup menonjol, terlebih setelah pada tahun 1900 diperkenalkan sekolah Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA), yaitu sebuah sekolah yang dipersiapkan untuk menjadi pegawai pemerintah untuk kalangan pribumi. Dengan demikian, ada kesan kuat bahwa kegiatan pendidikan yang diselenggarakan pihak pemerintah kolonial belanda adalah untuk kelancaran ekonomi dan politik Belanda. Namun ada dampak positif dari pendirian melalui sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan gaya barat tersebut, karena akan memunculkan golongan elit baru di Indonesia. Golongan elite baru disebut juga sebagai golongan priyayi. Golongan priyayi tersebut banyak yang berprofesi sebagai dokter, guru, jurnalis, dan aparatur pemerintahan.
Baca Juga: Sejarah PPKI
Pelaksanaan politik etis bukannya tidak mendapat kritik. Kalangan Indo yang secara sosial adalah warga kelas dua tapi secara hukum termasuk orang Eropa merasa ditinggalkan. Di kalangan mereka ada ketidakpuasan karena pembangunan lembaga-lembaga pendidikan hanya ditujukan pada kalangan pribumi (eksklusif). Akibatnya, orang-orang campuran tidak bisa menempuh pendidikan dan untuk menempuh jenjang pendidikan lebih tinggi harus pergi ke Eropa dengan biaya yang sangat mahal.
Ernest Douwes Dekker adalah salah satu tokoh yang menentang ekses pelaksanaan politik ini karena meneruskan pandangan pemerintah kolonial yang memandang hanya orang pribumi yang harus ditolong, padahal seharusnya politik etis ditujukan untuk semua penduduk asli Hindia Belanda (Indiers), yang di dalamnya termasuk pula orang Eropa yang menetap (blijvers) dan Tionghoa.
Pada dasarnya, politik etis adalah strategi dari pemerintah Belanda untuk memenuhi tuntutan kaum humanis dan sosial demokrat Belanda. Selain itu juga pemberlakuan politik etis di bidang pendidikan ada kaitannya dengan kepentingan politik pintu terbuka untuk menghasilkan tenaga yang terdidik dan terampil di bidang administrasi. Sehingga bisa disimpulkan bahwa pelaksanaan kebijakan politik etis di Indonesia diselewengkan menjadi politik Assosiasi, yang mana dalam pelaksanaannya di arahkan sebesar-besarnya untuk kepentingan Belanda.
Terdapat 4 ciri pendidikan pada masa kolonial Belanda, diantaranya yaitu :
- Sistem Dualisme. Dalam sistem ini diadakan garis pemisah antara sistem pendidikan untuk golongan Eropah dan sistem pendidikan untuk golongan bumi putera.
- Sistem Korkondansi. Sistem ini berarti bahwa pendidikan di daerah penjajah di arahkan atau disesuaikan dengan pendidikan yang terdapat di negeri Belanda.
- Sentralisasi. Kebijakan pendidikan di zaman kolonial diurus oleh sebuah Departemen Pengajaran.
- Menghambat Gerakan Nasional. Sistem pendidikan pada masa itu sangat selektif. Masyarakat bumi putera tidak bisa memperoleh pendidikan yang seluas-luasnya atau pendidikan yang lebih tinggi.
Isi Politik Etis
Menurut Van Deventer, ada 3 cara untuk memperbaiki nasib rakyat yang disebut juga dengan trilogi van deventer. Berikut ini isi politik etis, diantaranya yaitu:
Edukasi (Pendidikan)
Pendidikan diberikan di sekolah kelas satu pada anak-anak pegawai negeri dan orang yang berkedudukan atau berharta. Pada 1903 ada 14 sekolah kelas satu di ibukota karesidenan dan ada 29 di ibukota Afdeling dengan mata pelajaran yang diajarkan seperti membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi, ilmu alam, sejarah, dan menggambar.
Pendidikan kelas dua dikhususkan untuk anak-anak pribumi golongan bawah. Pada 1903, di Jawa dan Madura sudah terdapat 245 sekolah kelas dua negeri dan 326 sekolah Fartikelir, di antaranya 63 dari Zending. Pada 1892 jumlah muridnya ada 50.000, pada 1902 ada 1.623 anak pribumi yang belajar pada sekolah Eropa. Untuk menjadi calon pamong praja ada tiga sekolah Osvia, masing-masing di Bandung, Magelang, dan Probolinggo. Sedangkan, nama-nama sekolah untuk anak-anak Eropa dan anak kaum pribumi, diantaranya yaitu:
- HIS (Hollandsch Indlandsche School) setara SD
- MULO (Meer Uitgebreid Lagare Onderwijs) setara SMP
- AMS (Algemeene Middlebare School) setara SMU
- Kweek School (Sekolah Guru) untuk kaum bumi putra
- Technical Hoges School (Sekolah Tinggi Teknik) di Bandung. Pada 1902, didirikan sekolah pertanian di Bogor (sekarang IPB).
Baca Juga : Sejarah BPUPKI
Irigasi (Pengairan)
Sarana vital bagi pertanian yaitu pengairan, oleh pihak pemerintah telah dibangun sejak 1885 seluas 96.000 bau untuk irigasi Berantas dan Demak, pada 1902 luasnya menjadi 173.000 bau. Dengan irigasi tanah pertanian akan menjadi subur dan produksinya bertambah.
Transmigrasi (Perpindahan Penduduk)
Dengan adanya transmigrasi tanah-tanah di luar Jawa yang belum diolah menjadi lahan perkebunan, akan bisa diolah untuk menambah penghasilan. Selain itu, untuk mengurangi kepadatan penduduk Jawa. Pada 1865, jumlah penduduk Jawa dan Madura sebanyak 14 juta jiwa. Pada 1900, telah berubah menjadi dua kali lipat. Pada awal abad ke-19 terjadi migrasi penduduk dari Jawa Tengah ke Jawa Timur sehubungan dengan adanya perluasan perkebunan tebu dan tembakau, migrasi penduduk dari Jawa ke Sumatra Utara karena adanya permintaan besar akan tenaga kerja perkebunan di Sumatra Utara, terutama ke Deli, sedangkan ke Lampung memiliki tujuan untuk menetap.
Penyimpangan Politik Etis
Pada dasarnya kebijakan politik etis yang diajukan oleh van Deventer tersebut baik. Tapi, dalam pelaksanaannya terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh para pegawai Belanda. Berikut ini penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada pelaksanaan politik etis, diantaranya yaitu:
Penyimpangan dalam Bidang Edukasi
Pembangunan sekolah-sekolah yang dilakukan oleh pemerintah Belanda. Tapi pendidikan ini ditujukan untuk mendapatkan tenaga administrasi yang cakap dan murah. Pendidikan yang dibuka untuk seluruh rakyat hanya diperuntukan untuk anak pegawai negeri dan orang yang mampu. Terjadi diskriminasi pendidikan yaitu pengajaran di sekolah kelas I untuk anak pegawai negeri dan orang yang berharta dan di sekolah kelas II kepada anak pribumi dan umumnya.
Penyimpangan dalam Bidang Irigasi
Pelaksanaan pengairan (irigasi) hanya ditujukan pada tanah-tanah yang subur untuk perkebunan swasta Belanda. Sedangkan milik rakyat tidak dialiri air dari irigasi. Dalam bidang irigasi (pengairan) diadakan pembangunan dan perbaikan. Namun pengairan tersebut tidak ditujukan untuk pengairan sawah dan ladang milik rakyat, tapi untuk mengairi perkebunan milik swasta asing dan pemerintah kolonial.
Penyimpangan di Bidang Migrasi
Migrasi ke daerah luar Jawa hanya ditujukan ke daerah-daerah yang dikembangkan perkebunan milik Belanda. Hal tersebut karena adanya permintaan yang besar akan tenaga kerja di daerah perkebunan seperti perkebunan di Sumatera Utara, khususnya di Deli, Suriname, dan lain sebagainya. Mereka dijadikan kuli kontrak.
Migrasi ke Lampung bertujuan menetap. Karena migrasi ditujukan untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja, maka tidak jarang banyak yang melarikan diri. Untuk mencegah agar pekerja tidak melarikan diri, pemerintah Belanda mengeluarkan Poenale Sanctie, yaitu peraturan yang menetapkan bahwa pekerja yang melarikan diri akan dicari dan ditangkap polisi, lalu dikembalikan pada mandor atau pengawas.
Dampak Politik Etis Bagi Bangsa Indonesia
Berikut ini dampak adanya politik etis bagi bangsa indonesia diantaranya yaitu:
- Pembangunan infrastruktur seperti pembangunan rel kereta api yang memperlancar perpindahan barang dan manusia
- Pembangunan infrastruktur pertanian dalam hal ini bendungan yang nantinya bermanfaat bagi pengairan.
- Berdirinya sekolah-sekolah, seperti Hollandsch Indlandsche School(HIS) setara SD untuk kelas atas dan yang untuk kelas bawah dibentuk sekolah kelas dua, Meer Uitgebreid Lagare Onderwijs (MULO) setara SMP, Algemeene Middlebare School (AMS) setara SMU, Kweek School (Sekolah Guru) untuk kaum bumi putra dan Technical Hoges School (Sekolah Tinggi Teknik), School Tot Opleiding Van Indische Artsen (STOVIA) sekolah kedokteran.
- Adanya berbagai sekolah mengakibatkan munculnya kaum terpelajar atau cendikiawan yang nantinya menjadi pelopor Pergerakan Nasional seperti contoh Soetomo mahasiswa STOVIA mendirikan organisasi Budi Utomo.
Baca Juga : Pengaruh Kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda
Manfaat Politik Etis
Adapun manfaat adanya politik etis di Indonesia diantaranya yaitu:
- Munculnya kalangan terpelajar.
- Irigasi banyak diperbaiki.
- Hasil produksi meningkat.
- Persebaran penduduk ke berbagai tempat.
Tokoh Pendukung Politik Etis
Berikut ini nama tokoh pendukung Politik Etis usulan Van Deventer, diantaranya yaitu:
- P. Brooshoof, redaktur surat kabar De Lokomotif, yang pada tahun 1901 menulis buku berjudul De Ethische Koers In de Koloniale Politiek (Tujuan Ethis dalam Politik Kolonial).
- F. Holle, banyak membantu kaum tani.
- Van Vollen Hoven, banyak memperdalam hukum adat pada beberapa suku bangsa di Indonesia.
- Abendanon, banyak memikirkan soal pendidikan penduduk pribumi.
- Leivegoed, jurnalis yang banyak menulis tentang rakyat Indonesia.
- Van Kol, banyak menulis tentang keadaan pemerintahan Hindia Belanda.
- Douwes Dekker (Multatuli), dalam bukunya yang berjudul Max Havelaar berisi kritikan terhadap pelaksanaan tanam paksa di Lebak, Banten.
Kegagalan Politik Etis Dan Politik Asosiasi
Kegagalan pelaksanaan politik Etis terlihat dari beberapa hal berikut ini, diantaranya:
- Sejak pelaksanaan kebijakan politik etis, sistem ekonomi liberal Belanda mendapatkan keuntungan yang besar sedangkan tingkat kesejahteraan rakyat pribumi tetap rendah.
- Hanya sebagian kecil kaum pribumi yang memperoleh keuntungan dan kedudukan yang baik dalam masyarakat kolonial, yaitu golongan pegawai negeri.
- Pegawai negeri dari golongan pribumi hanya digunakan sebagai alat saja, sehingga dominasi bangsa Belanda tetap sangat besar.
Itulah pembahasan mengenai kebijakan politik etis pemerintah kolonial Belanda yang diterapkan di Indonesia, semoga bermanfaat.