Isi Perjanjian Jepara – Terdapat berbagai perjanjian bersejarah di Indonesia, salah satunya adalah perjanjian jepara. Apa itu perjanjian jepara? Sebutkan isi perjanjian jepara? Dimana dan kapan perjanjian jepara dilakukan? Agar lebih memahaminya, kali ini kita akan membahas tentang sejarah perjanjian jepara mulai dari pengertian, latar belakang, tokoh, perlawanan Trunojoyo dan isi perjanjian jepara secara lengkap.
Baca Juga : Perjanjian Linggarjati
Pengertian Perjanjian Jepara
Perjanjian Jepara adalah perjanjian yang ditandatangani Sultan Amangkurat II dengan VOC dari Kerajaan Mataram untuk memerangi pemberontakan Raden Trunojoyo.
Raden Trunojoyo yang bergelar Panembahan Maduretno lahir di Madura pada 1649 dan meninggal pada 2 Januari 1680 di Payak, Bantul. Raden Trunojoyo merupakan seorang bangsawan Madura yang memberontak terhadap Amangkurat I dan Amangkurat II dari Mataram.
Pemberontakan dilakukan karena pemerintah yang mereka pimpin dianggap terlalu keras dan berpihak pada VOC. Sultan Amangkurat I dan II secara khusus ditolak oleh orang-orang karena sifatnya yang kejam, sewenang-wenang dan sangat dekat dengan VOC. Akibat ketidakpuasan terhadap pemerintah, banyak ilmuwan dan mahasiswa di Mataram ditangkap dan dijatuhi hukuman mati. Hal tersebut membuat Trunojoyo memberontak terhadap kepemimpinan Sultan Amangkurat I dan II.
Latar Belakang Perjanjian Jepara
Pada tahun 1924, pulau Madura berhasil ditaklukan oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645) dari kerajaan mataram islam yang masih berasal dari keturunan kerajaan Mataram kuno. Selain Madura dan Surabaya, pusat Yogyakarta juga pantai timur Jawa termasuk Tuban dan Gresik berhasil ditaklukan dalam sejarah Kerajaan Mataram Kuno. Sultan Agung menangkap Raden Prasena, seorang bangsawan Madurean.
Karena perilakunya dan ketampanannya, Raden Prasena lebih disukai oleh Sultan Agung sebagai menantu dan penguasa wilayah Madura Barat di bawah kerajaan Mataram. Kemudian Raden Prasena menerima gelar Panembahan Cakraningrat atau Cakraningrat I.
Namun Raden Prasena lebih di Mataram dibanding di Madura, jadi putranya yang berasal dari selir bernama Raden Demang Melayakusuma yang memimpin pemerintahan di Madura Barat. Keduanya adalah panglima perang untuk Mataram.
Setelah Sultan Agung wafat, Amangkurat I menjabat di Mataram. Susuhunan Prabu Amangkurat Agung atau Raden Mas Sayidin memiliki gaya yang berbeda dari ayahnya yang selalu berperang melawan Belanda. Sedangkan dia sebenarnya mendekati Belanda untuk melindungi kepentingannya.
Sifat sewenang-wenangnya membuat banyak orang merasa tidak puas dan memberontak, termasuk Pangeran Alit, adik lelakinya sendiri yang memberontak pada tahun 1648. Cakraningrat dan Demang Melayakusuma diperintahkan untuk melawan pemberontakan Pangeran Alit, namunterbunuh saat bertugas. Pangeran Alit menderita kekalahan dan ribuan menteri pendukungnya dibantai oleh Amangkurat I. Selanjutnya, pemerintah Madura beralih ke Raden Undagan, adik lelaki Melayakusuma, Panembahan Cakraningrat II, yang juga lebih sering di Mataram.
Baca Juga : Perjanjian Roem Royen
Setelah beberapa tahun, Pangeran Adipati Anom yang merupakan pangeran mahkota Amangkurat I juga tidak puas dan ingin memberontak karena dia mendengar bahwa statusnya sebagai Pangeran Mahkota Mataram akan dicabut dan digantikan oleh putra Amangkurat I. Akan tetapi, Adipati Anom tidak berani melakukannya secara terbuka jadi secara diam-diam meminta bantuan kepada Raden Kajoran atau Panembahan Rama yang merupakan seorang imam dan kerabat dari Mataram yang memperkenalkan Trunojoyo kepada menantunya untuk menjadi alat pemberontakan bagi Adipati Anom.
Trunojoyo sendiri masih keturunan Sultan Agung, cucu Raden Prasena atau Cakraningrat I. Atau dengan kata lain, Trunojoyo adalah putra Demang Melayakusuma dari istri selirnya. Pohon keluarga membuatnya menjadi saudara tiri perempuan yang lain dari Cakraningrat II.
Perlawanan Trunojoyo
Setelah pemberontakan bangsawan Mataram, selanjutnya terjadi pemberontakan dilakukan oleh Raden Trunojoyo pada tahun 1649. Pemberontakan tersebut disebabkan karena ketidakpuasan pemerintah selama Amangkurat I dan II. Pemerintah Kerajaan Mataram dianggap tangguh dan bekerja sama dengan VOC (Dutch Trading Partnership).
Pengambilalihan Raden Trunojoyo menyebabkan perselisihan yang sengit antara Amangkurat 1 dan Ulama, yang mengakibatkan banyak Ulama dan Santri ditangkap dan dijatuhi hukuman mati di wilayah Mataram. Hal tersebut membuat Trunojoyo marah lalu memberontak. Pemberontakan terjadi dari tahun 1674-1679. Saat itu kekuasaan kerajaan Mataram dipegang oleh Sultan Amangkurat II. Sultan Amangkurat II memiliki dua karakteristik yang tidak disukai rakyat yaitu kepemimpinan yang sewenang-wenang dan kejam serta ramah dan sangat dekat dengan VOC (Belanda).
Pasukan Trunojoyo bekerja dengan Karaeng Galesong yang memimpin pelarian Makassar dan merupakan pengikut Sultan Hasanuddin yang kalah dari VOC. Bahkan, Trunojoyo menikahkan putrinya dengan Karaeng Galesong untuk memperkuat hubungan kerja sama. Dia juga didukung oleh Panembahan Giri dari Surabaya, yang tidak mendukung metode pemerintah Amangkurat I untuk menghukum ulama yang menentangnya.
Pasukan gabungan berhasil mendorong pasukan Amangkurat I, tapi kemenangan yang dimenangkan meninggalkan Trunojoyo dalam konflik dengan Adipati Anom karena dia tidak mau menyerahkan kepemimpinannya. Tentara Trunojoyo bahkan mengalahkan pasukan Adipati Anom yang berbalik untuk mendukung ayahnya pada Oktober 1676. Invasi Plered yang merupakan ibukota Mataram saat itu dilakukan oleh Trunojoyo, sehingga Amangkurat I melarikan diri dan mati di Tegal. Ia dimakamkan di Tegal Arum dan dikenal sebagai Sunan Tegal Arum. Setelah itu, Adipati Anom dipanggil Amangkurat II.
Isi Perjanjian Jepara
Setelah menjadi Adipati Anom Amangkurat II, ia menandatangani perjanjian dengan VOC pada September 1977 yang dikenal sebagai Perjanjian Jepara. Perjanjian Jepara mengharuskan Amangkurat II membayar harga tinggi, yaitu menyerahkan sebagian wilayahnya kepada VOC. Perjanjian Jepara termasuk perjanjian antara Amangkurat II dan VOC untuk menyerahkan daerah di pantai utara Jawa ke VOC jika VOC menghentikan pemberontakan Trunojoyo.
Baca Juga : Perjanjian Tuntang
Hal tersebut berarti bahwa daerah di pantai utara Jawa, yang meliputi Karawang ke ujung timur Jawa, akan digunakan sebagai jaminan untuk pembayaran perjanjian Jepara kepada Belanda, yang telah membantu memberantas pemberontakan Trunojoyo. Sebelum menandatangani perjanjian Jepara, VOC Trunojoyo sudah menawarkan kedamaian pribadi di benteng VOC Danareja, tapi tawaran tersebut ditolak.
Sementara itu, Trunojoyo, yang telah mendirikan pemerintahannya sendiri dengan judul Panembahan Maduretno, telah mengendalikan hampir seluruh pantai Jawa sementara masih ada banyak orang pedalaman yang tetap loyal kepada Mataram. VOC kemudian memusatkan kekuatannya untuk mengalahkan Trunojoyo di bawah kepemimpinan Jenderal Cornelis Speelman. Pasukan Bugis yang dipimpin oleh Aru Palaka dari Bone dikerahkan oleh VOC untuk melawan Karaeng Galesong, dan Maluku yang dipimpin oleh Kapten Jonker diperintahkan untuk melakukan serangan besar-besaran di tempat dengan pasukan Amangkurat II.
Pasukan Eja dan VOC menyerang Surabaya pada bulan April 1677 dan berhasil menguasainya. Dengan kekuatan gabungan 1500 orang, ia berhasil mendorong Trunojoyo sehingga benteng Trunojoyo secara bertahap ditaklukkan oleh VOC. Pada akhirnya, pada tanggal 27 Desember 1679, Trunojoyo dikepung dan diserahkan oleh Kapitan Jonker di lereng Gunung Kelud. Ia kemudian diserahkan ke Amangkurat II di Payak, Bantul. Amangkurat II. Trunojoyo dijatuhi hukuman mati pada 2 Januari 1680. Trunojoyo dijatuhi hukuman mati oleh Amangkurat II.
Setelah kematian Trunojoyo, Istana Plered yang hancur dipindahkan ke Kartasura. Cakraningrat II juga diangkat kembali oleh VOC sebagai penguasa di Madura. Kesepakatan Jepara menyebabkan Amangkurat II menekan pemberontakan Trunojoyo, namun harga yang harus ia bayar sangat besar. Akibatnya, Mataram berutang biaya perang yang sangat besar kepada VOC dan sebagai gantinya harus meninggalkan pantai utara Jawa berdasarkan perjanjian dalam perjanjian Jepara. Sejak itu, Mataram dan Madura berada di bawah pengaruh VOC dalam menentukan suksesi kekuasaan dan kekuasaan.
Lebih singkatnya, Isi Perjanjian Jepara adalah apabila pemberontakan Trunojoyo sanggup dihentikan, maka Sultan Amangkurat II harus menyerahkan wilayah di Pantai Utara Jawa kepada VOC (kongsi dagang Belanda).
Artikan bahwa wilayah Pantai Utara mencakup Karawang hingga Ujung timur Pulau Jawa dijadikan sebagai jaminan pembayaran untuk derma yang diberikan oleh Belanda untuk ikut terlibat dalam perang melawan Trunojoyo.
Baca Juga : Perjanjian Renville
Demikian artikel tentang sejarah perjanjian jepara mulai dari pengertian, latar belakang, tokoh, perlawanan Trunojoyo dan isi perjanjian jepara secara lengkap. Semoga bermanfaat dan jangan lupa ikuti postingan lainnya.